Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara
unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri timbul konflik dan
pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya
seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup
menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau
keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak di sangkal. Berikut
ini ada contoh kasus yang biasa ditangani oleh pendekatan Person-centered.
Misalnya, seorang mahasiswi mengira bahwa dia adalah seorang mahasiswi yang
pintar dan tidak pernah menyontek, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan
tingkah lakunya yang bertentangan dengan fikiran itu, karena ternyata dia
berkali-kali mencoba menyontek dan jarang mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Padahal, seharusnya sebagai mahasiswa ia tidak boleh bertindak begitu.
Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara siapa saya
ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana mahasiswi
mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi
keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran yang masih samar-samar akan
kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam
evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap
untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup
jurang pemisah antara dua kutub di dalam dirinya sendiri, serta akhirnya
menemukan dirinya kembali sebagai orang yang pantas (person of worth).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar